Masalah hukum niat adalah wajib berasal dari hadist “innamal ‘amalu bin niyyati” (sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya), yang diriwayat-kan oleh Imam Bukhari sebagai dasar pengerjaan suatu amal. Dan semua ulama sepakat bahwa niat sebelum melakukan amal perbuatan ibadah adalah wajib!
Tetapi yang dipermasalahkan adalah apakah MELAFADZKAN NIAT atau BACAAN NIAT itu disyari’atkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, serta diikuti oleh para sahabat dan ulama salaf?
A. SIAPA PENGGAGAS LAFAZ NIAT?
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai berikut:
“Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan. Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir)” [al Majmuu’ II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: ”Beberapa rekan kami berkata:”Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh Asy Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir.” [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim: syaikh Bakar Abu Zaid: 100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata: ”Tidak ada seorang ulama pun dari imam 4 (mazhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati. Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata: ”Itu tidak benar” (Al Itbaa’: 62)
Ibn Qoyyim berkata: ”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat, maka dia mengucapkan Allahu Akbar, dan beliau tidak mengucap-kan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“Ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman” (artinya: aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah, mengha-dap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumber-nya dari seorang pun baik dengan sanad yang sahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi, para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’i radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut: “Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa. Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”
Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shaha-batnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau, maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam“ [Zaadul Ma’aad I/201; Ighatsatul Lahfaan I/136-139; I’laamul Muwaqqi’iin II/371; Tuhfatul Maulud: 93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri berkata: “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah, tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengha-dirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadits beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.” Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafal-kan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan: “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yang mengerti dan paham tentang sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin (penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
B. HAKIKAT NIAT
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243: Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para Imam Muslimin dalam semua ibadah: bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belum mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa: “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.”
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya), tetapi kadang-kadang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun. Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah.
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dengan panjang untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yang menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari), diantaranya yang bisa diambil adalah:
“Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dengan sendirinya) membedakan apakah niat shalat atau bukan, shalat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat shalat yang akan dikerjakan?... Tapi pendapat yang kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yang berniat melakukan shalat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yang pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua!”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi: “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dengan tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Allah dan mengamalkan segala perintah-Nya.”
1. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHALAT
Masalah melafadzkan bacaan niat dalam shalat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat shalat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan/ lafadz sesuai dengan masing-masing jenis shalat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’: “Sesung-guhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bila berdiri untuk bershalat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allahu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.”
Kemudian beliau menambahkan: “Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam shalat dengan berkata: “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal, bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.”
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab Al-Islami: “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini secara sengaja dan menghu-bungkan dengan awal takbir.”
Muhammad Nashruddin Al-Albani (Berkata): Niat, yaitu: menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan:
“Usholli fardhu ... rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka shalat dengan kata-kata’Allahu Akbar’ (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka shalat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan ‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat shalat). Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan. Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam: ”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.”
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqhus Sunnah’ bahwa: “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan shalat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara shalat.”
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’i (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata: “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah shalat, maka hukumnya haram. Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu.” Al A’lam 3/194
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor, beliau berkata: meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan/gangguan kepada jama’ah shalat adalah haram secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji. Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’, adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah. Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst.” lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata: “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal,: “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir?” Beliau menjawab, “Tidak ada!”
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata: “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat, mela-inkan hanya takbir.”
Imam Asy-Syafi’iy berkata: “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.”
Ibnu Jauzy berkata: “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
2. MASALAH BACAAN NIAT DALAM SHAUM (PUASA)
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam(yang artinya):
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam harinya maka tidak ada puasa baginya.” [HR An-Nasa’i (4/196), Al-Baihaqi (4/202), Ibnu Hazm (6/162)]
Niat itu tempatnya di hati, melafadzkannya adalah bid’ah yang sesat walaupun manusia menganggapnya baik, kewajiban untuk berniat sejak malam itu khusus bagi puasa wajib, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah selain bulan ramadhan beliau berkata “Apakah engkau punya santapan siang? kalau tidak ada, aku berpuasa”. [HR Muslim/1154]
Hal ini juga dilakukan oleh para shahabat: Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhum kita dibawah bendera sayyidnya bani Adam.
Ini berlaku dalam puasa sunnah menunjukan wajibnya niat di malam hari sebelum terbit fajar dalam puasa wajib , Wallahu Ta’ala A’lam.
3. MASALAH MELAFAZKAN NIAT DALAM HAJI DAN UMRAH
Adapun melafadzkan niat hanya ada dalam ibadah Haji atau Umrah, itupun hadistnya tidak shahih, sehingga lafadz niat yang diucapkan dihukumi sebagai sunnah hanya pada kondisi apabila seseorang sedang menghajikan orang lain (badal haji). Untuk keterangan lebih lengkap bisa dibaca sedikit fatwa dari Syaikh Ibnu Utsaimin dibawah ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah boleh melafazkan niat untuk melaksanakan umrah, haji, thawaf, atau sa’i? Dan kapan boleh mengucapkan niat?
Jawaban (beliau): Melafazkan niat tidak terdapat keterangan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat (fardhu maupun sunnah), thaharah, puasa, bahkan dalam semua ibadah yang dilakukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam termasuk haji dan umrah. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin haji atau umrah tidak mengatakan: “Ya Allah, saya niat ingin demikian dan demikian”.
Tidak terdapat riwayat dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam demikian itu dan beliau juga tidak pernah memerintahkan kepada seorang pun dari sahabatnya”.
Yang ada dalam hal ini hanya bahwa Dhaba’ah binti Zubair, semoga Allah meridhainya, mengadu kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia ingin haji dan dia sakit. Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Artinya: Berhajilah kamu dan syaratkan, bahwa tempatku ketika aku tertahan. Sebab yang dinilai oleh Allah untukmu, apa yang kamu kecualikan” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Sesungguhnya perkataan di sini dengan lisan. Sebab akad haji sama dengan nadzar. Dan bila manusia niat untuk bernazdar dalam hatinya maka demikian itu bukan nadzar dan tidak berlaku hukum nadzar. Karena haji seperti nadzar dalam keharusan menepatinya jika telah merencanakannya (niat), maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Dhaba’ah untuk mensyari’atkan dengan mengatakan: “Jika aku terha-lang oleh halangan apapun, maka tempatku ketika aku terhalang”. Adapun hadits yang menyatakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan berkata: “Shalatlah kamu di lembah yang diberkati Allah ini, dan katakanlah: “Umrah dalam haji atau umrah dan haji”.
Maka demikian itu bukan berarti bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengucapkan niat. Tetapi maknanya bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan manasiknya dalam talbiyahnya. Karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengucapkan niat. Talbiyah sebagaimana dilakukan orang-orang yang haji dan umrah, yaitu:
“Artinya: Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dan tiada sekutu apapun bagi-Mu. Sesungguhnya puji, nikmat dan kekuasaan hanya bagi-Mu tanpa sekutu apapun bagi-Mu. Ya Allah aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Rabb kebenaran”
Tempat niat di dalam hati, bukan di lisan. Adapun bagaimana cara niat haji karena mewakili orang lain? Caranya adalah agar seseorang niat dalam hatinya bahwa dia akan haji atas nama fulan bin fulan. Demikian itulah niat.
Namun untuk itu dia disunnahkan melafazkan seperti dengan mengatakan: Labbaik Allahumma Hajjan an Fullan“ (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk haji atas nama Fulan), atau “Labbaik Allahumma ‘Umratan ‘an Fulan “ (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk umrah atas nama Fulan) hingga apa yang ada dalam hati dikuatkan dengan kata-kata. Sebagaimana para sahabat juga melafazkan demikian itu seperti diajarkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengeraskan suara mereka. Ini adalah sunnah.
Dan dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Abdullah bin Umar mendengar seseorang berkata ketika sedang berihram: ”Ya Allah,sesungguhnya hamba ingin melaku-kan haji dan umrah.” Maka Ibnu Umar berkata kepadanya: ”Apakah engkau memberi-tahukan (niatmu) itu kepada orang lain? Dan bukankah Allah lebih mengetahui isi hatimu? Padahal niat itu adalah kehendak hati dan tidak wajib dilafazkan dalam beribadat.” (riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jami’ul Uluum wal Hikam: 19)
No comments:
Post a Comment